ABSTRACT
Empyema is defined as pus in the pleural cavity. This is usually a complication of pneumonia. Empyema can also arise due to penetrating chest trauma, esophageal rupture, complications of lung surgery, or inoculation of the pleural cavity after thoracocentesis or chest tube placement. There is an increased risk of parapneumonic empyema at the extremes of age with rates of 7.6 and 9.9 cases per 100,000 for ages under 5 years and over 64 years, respectively. Most pediatric patients with empyema are less than two years old. However, fortunately pleural empyema in neonates is rare. The peak incidence occurs at the age of 0-3 years. This disease has varied predisposing factors, uncertain pathogenesis, rapid disease course, high mortality rate and lack of management protocols for neonates, resulting in a high mortality rate in neonates. 1 An 18 day old baby girl was born at Prima Hospital by SC 36 - 37 weeks a/I hemorrhoids, birth weight 3070 grams, body length 50 cm. Physical examination showed that the baby's tone was strong, the skin color was yellowish, there was no cyanosis, no moaning, but there was chest retractions. HR: 138 bpm, CRT < 3 seconds, RR: 52 bpm, temperature: 36.5 C, GDS: 85 mg/dL. The patient was diagnosed with left pulmonary empyema, sepsis, neonatal pneumonia, enterocolitis. After that the baby was treated in the PICU for 16 days.ABSTRAK
Empiema didefinisikan sebagai nanah di rongga pleura. Empiema merupakan komplikasi pneumonia. Empiema juga dapat timbul akibat trauma tembus dada, ruptur esofagus, komplikasi operasi paru, atau inokulasi rongga pleura setelah torakosentesis atau pemasangan selang dada. Terdapat peningkatan risiko empiema parapneumonik pada usia ekstrem dengan angka 7,6 dan 9,9 kasus per 100.000 untuk usia di bawah 5 tahun dan di atas 64 tahun. Kebanyakan pasien anak dengan empiema berusia kurang dari dua tahun. Namun, untungnya empiema pleura pada neonatus jarang terjadi. Puncak insiden terjadi pada usia 0-3 tahun. Penyakit ini memiliki faktor predisposisi yang bervariasi, patogenesis yang tidak pasti, perjalanan penyakit yang cepat, angka kematian yang tinggi dan kurangnya protokol penatalaksanaan pada neonates sehingga menyebabkan tingginya angka kematian pada neonatus.1 Bayi perempuan usia 18 hari dilahirkan di RS Prima secara sectio caesarea 36 - 37 minggu a/I hemoroid, dengan berat badan lahir 3070 gram, panjang badan 50 cm. Pemeriksaan fisik masuk tonus bayi kuat, warna kulit kekuningan, tidak terdapat sianosis, tidak merintih, tetapi terdapat retraksi dada. HR: 138 dpm, CRT < 3 detik, RR: 52 dpm, suhu: 36,5 C, GDS: 85 mg/dL. Pasien didiagnosis dengan empiema paru kiri, sepsis, pneumonia neonatorum, enterocolitis. Setelah itu bayi dirawat di PICU selama 16 hari.PENDAHULUAN
Empiema didefinisikan sebagai nanah di rongga pleura. Empiema biasanya merupakan komplikasi pneumonia. Namun, penyakit ini juga dapat timbul akibat trauma tembus dada, ruptur esofagus, komplikasi operasi paru, atau inokulasi rongga pleura setelah torakosentesis atau pemasangan selang dada. Prevalensi empiema terjadi peningkatan risiko empiema parapneumonik pada usia ekstrem dengan angka 7,6 dan 9,9 kasus per 100.000 untuk usia di bawah 5 tahun. Kebanyakan pasien anak dengan empiema berusia kurang dari dua tahun. Namun, untungnya empiema pleura pada neonatus jarang terjadi. Puncak insiden terjadi pada usia 0-3 tahun. Gejala dan tanda yang dapat ditemukan berupa reflex isap buruk, jaundice, pucat, dan letargi dalam beberapa hari sebelum timbulnya gejala distress pernafasan dan pada pemeriksaan fisik ditemukan suara nafas menurun pada hemothoraks. Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan menggunakan rontgen thoraks. Tatalaksana yang di berikan adalah penggunaan antibiotik dan tindakan thoracocentesis efektif dalam manajemen empiemaILUSTRASI KASUS
Nama : By. Ny. NES
Umur : 18 hari
Ayah/Ibu : Tn. R / Ny. NES
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kulim
Tanggal Lahir : 26 September 2023
Tanggal Masuk : 13 Oktober 2023
Bayi perempuan dilahirkan di RS Prima dengan persalinan sectio caesarea. Diagnosis ibu G1 gravid 37-38 minggu, hemoroid interna grade IV. Lahir cukup bulan, langsung menangis, tonus baik, warna kulit biru. Sudah dilakukan pemotongan dan perawatan tali pusat, injeksi vitamin K1 pada paha kiri anterolateral IM, salep mata Chloramphenicol 1%, dan imunisasi Hepatitis B0. Bayi dirawat di IPN atas indikasi gawat nafas. Kondisi pasien membaik dan dibolehkan pulang setelah dirawat selama 3 hari. 4 hari yang lalu, ibu pasien mengatakan bayi kuning di seluruh tubuh, demam, dan terlihat sesak nafas, lalu bayi dibawa ke RS PMC dan dirawat selama 2 hari, kemudian pasien dirujuk ke RSUD Arifin Achmad untuk tatalaksana lanjut. Pasien tiba pukul 09.30 di instalasi Neonatus RSUD Arifin Achmad, setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan keadaan tonus bayi kuat, warna kulit kekuningan, tidak terdapat sianosis, tidak merintih, dan terdapat retraksi dada ringan. HR: 138 dpm, CRT < 3 detik, RR: 52 dpm, suhu: 36,5 C, GDS: 85 mg/dL. Bayi kemudian dirawat di Perina RSUD Arifin Achmad dan didiagnosis Pneumonia neonatorum dan enterocolitis. Pada hari rawatan ke 13 bayi mengalami gagal CPAP kemudian dilakukan tindakan intubasi. Setelah itu dilakukan Rontgen babygram ulang dan didapati hasil Rontgen curiga tension pneumothorax. Kemudian dilakukan ulang Rontgen babygram dengan proyeksi AP Lateral.Riwayat antenatal care
Ibu pasien control dengan dokter kandungan sebanyak 5 kali, yaitu pada trimester 1 sebanyak satu kali, trimester 2 sebanyak dua kali, dan trimester 3 sebanyak dua kali.Riwayat penyakit ibu
Ibu menderita hemoroid interna sejak 2 tahun yang lalu, dan menderita diabetes mellitus gestasional selama kehamilan.Riwayat penyakit keluarga
Ibu tidak memiliki riwayat diabetes mellitus. Ayah pasien berusia 24 tahun dan ibu berusia 26 tahun.Pemeriksaan fisik saat di Perina RSUD Arifin Achmad (26/10/2023)
Kulit: kemerahan pada seluruh tubuh. SSP: Tonus baik. Kepala: Wajah tidak dismorfik, UUB tidak menonjol, sutura tidak melebar, sekret mata (-). Sistem respiratorius: Bayi menangis, letargi, terdapat retraksi berat, usaha nafas memburuk, sesak (+), RR 66 x/menit, suara nafas menurun sebelah kiri. Sistem kardiovaskular: HR 138 denyut/menit, S1 S2 regular, murmur (-), gallop (-). Sistem gastrointestinal: Abdomen supel, venektasi (+), massa (-), bising usus (+). Sistem genitalia dan vertebrae: Jenis kelamin perempuan, anus paten, tidak ada spina bifida, vertebrae normal. Ekstremitas: Bentuk normal, akral hangat, CRT < 3 detik.Pemeriksaan penunjang
Laboratorium (26/10/2023): Hb 9,2 g/dL; Leukosit 52.390/uL; Trombosit 181.000/uL; Basofil 0,1%; Eosinofil 0,4%; Neutrofil 72,3%; Limfosit 16,3%; Monosit 10,9%; CRP 30,8 mg/L. Rontgen thoraks AP (26/10/2023)


Diagnosis kerja
- NCB-SMK
- BBL 3070 gram
- Suspek empiema paru sinistra lobus superior atau intrapleura dd abses paru sinistra
- Sepsis
- Pneumonia neonatorum
- Enterocolitis
Tatalaksana
- Jaga suhu bayi, rawat inkubator
- Jaga airway dan isap lendir jika perlu
- Cek septic marker
- Konsul bedah anak è pemasangan WSD
- Cairan total 80 cc/hari, abaikan minum
- Meropenem 125 mg/8 jam
- Metronidazole 25 mg/12 jam
Post WSD
Rontgen thoraks (28/10/2023)


PEMBAHASAN
Bayi rujukan RS PMC Pekanbaru ke RSUD Arifin Achmad usia 16 hari dengan masalah bayi kuning di seluruh tubuh, demam, dan terlihat sesak nafas. Bayi awalnya didiagnosis Pneumonia neonatorum dan enterocolitis dan dilakukan pemasangan CPAP. Pada hari rawatan ke 13 bayi mengalami gagal CPAP pada pemeriksaan fisik didapati suara nafas menurun pada hemithorax sinistra. Pemeriksaan laboratoriun menunjukkan leukositosis (52.390/uL) kemudian dilakukan tindakan intubasi dan babygram ulang dengan hasil Area lusen avaskular di hemithoraks sinistra yang mendorong organ mediastinum ke dextra. Tampak area loculated atau bersepta pada lobus superior paru sinistra kesan gambaran empyema paru sinistra. Empiema adalah akumulasi nanah di rongga pleura yang biasanya merupakan komplikasi dari pneumonia. Gejala dan tanda yang dapat ditemukan berupa reflex isap buruk, jaundice, pucat, dan letargi dalam beberapa hari sebelum timbulnya gejala distress pernafasan dan pada pemeriksaan fisik ditemukan suara nafas menurun pada hemothoraks.3 Tatalaksana utama dari pasien ini berupa pemasangan WSD dan pemberian antibiotik. Pada saat dilakukan WSD tampak pus keluar melalui selang WSD dan ditemukan adanya bubble pada drain. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sharma et al bahwa penggunaan antibiotik dan tindakan thoracocentesis efektif dalam manajemen empiema.4DAFTAR PUSTAKA
- Mazumdar J, Sen S. Neonatal Empyema Thoracis. J Nepal Paediatr Soc 2014; 34(1):65-67.
- Mangete EDO, Kombo BB, Legg-Jack TE. Empiema toraks: Sebuah penelitian terhadap 56 pasien. Anak Arch Dis 1993; 69: 587-588.
- Diez JR, Perez MaL, Malayan GV, Cenabre MV. Loculated empyema in a neonate successfully treated with chest tube thoracostomy and antibiotics. Respiratory Medicine Case Reports. 2020;31:101274.
- Sharma S, Sharma A, Sharma M, Ghosh S. Neonatal Empyema Thoracis. Pediatric Oncall. 2018;15(1).